Penulis Partikelir, Menikmati hidup dengan Ngaji, Ngopi dan Literasi

Ketika Petani Menghilang dan Sawah Menyusut: Akankah Kita Kehabisan Nasi?

Senin, 17 Maret 2025 14:02 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content
Nasib Petani Kita
Iklan

Jika kita tidak segera bertindak, bisa jadi kelak nasi menjadi barang langka dan mahal.

***

Bayangkan suatu hari kita duduk di warung makan, memesan sepiring nasi hangat dengan lauk favorit, lalu tiba-tiba pelayan berkata, “Maaf, nasi sedang langka.” Kedengarannya mustahil, bukan? Tapi jika kita melihat bagaimana petani semakin sedikit dan sawah terus menyusut, skenario ini bisa saja menjadi kenyataan di masa depan.

Di Mana Para Petani?

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Dulu, menjadi petani adalah kebanggaan. Sawah luas terbentang, anak-anak bermain lumpur di pematang, dan panen raya menjadi perayaan kecil di desa. Tapi kini, berapa banyak anak muda yang bercita-cita jadi petani?

Data menunjukkan tren yang mengkhawatirkan: rata-rata usia petani di Indonesia semakin tua, kebanyakan di atas 50 tahun. Generasi muda enggan meneruskan profesi ini. Mereka lebih memilih pekerjaan di kota, menganggap bertani sebagai profesi yang melelahkan, penuh ketidakpastian, dan kurang menjanjikan secara finansial.

Padahal, jika kita bicara soal dampak, petani adalah salah satu profesi yang paling menentukan kelangsungan hidup bangsa. Tanpa petani, siapa yang akan menanam padi? Jika padi tak ditanam, dari mana kita mendapatkan beras?

Sawah Berkurang, Beton Bertambah

Selain petani yang menghilang, masalah lain yang tak kalah serius adalah berkurangnya lahan sawah. Seiring waktu, sawah-sawah yang dulu subur berubah menjadi perumahan, pusat perbelanjaan, atau kawasan industri.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa dalam beberapa dekade terakhir, luas lahan sawah terus menyusut. Pada 1990-an, Indonesia masih memiliki lebih dari 8 juta hektare sawah. Kini, luasnya terus berkurang. Penyebabnya beragam: alih fungsi lahan, pembangunan infrastruktur, hingga perubahan pola tanam akibat krisis iklim.

Di banyak daerah, tanah pertanian dijual karena harga tanah naik tinggi. Petani tergoda untuk menjual sawah mereka, lalu uangnya digunakan untuk modal usaha lain atau biaya pendidikan anak-anak. Ironisnya, setelah sawah habis, mereka justru kesulitan mendapatkan pekerjaan lain.

Apa Dampaknya?

Dampak hilangnya petani dan berkurangnya sawah sangat nyata. Pertama, produksi pangan menurun. Jika dulu Indonesia dikenal sebagai negara agraris yang mampu swasembada beras, kini kita harus mengimpor jutaan ton beras dari luar negeri untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.

Kedua, harga pangan semakin tidak stabil. Ketika produksi berkurang, stok menipis, dan permintaan tetap tinggi, harga beras melonjak. Kita sudah sering melihat bagaimana kenaikan harga beras memicu kepanikan di masyarakat.

Ketiga, ketahanan pangan terancam. Jika suatu saat negara pemasok beras seperti Thailand dan Vietnam mengalami krisis produksi, lalu menahan ekspor mereka, kita bisa kelimpungan.

Adakah Solusi?

Tentu saja, masalah ini tidak boleh dibiarkan begitu saja. Ada beberapa langkah yang bisa diambil untuk mengatasi hilangnya petani dan berkurangnya lahan sawah:

  1. Meningkatkan Kesejahteraan Petani
    Bertani harus menjadi profesi yang menjanjikan, bukan sekadar pekerjaan subsisten. Pemerintah bisa memperbaiki sistem distribusi hasil panen, memberikan akses ke modal usaha, serta memastikan harga gabah yang layak.

  2. Regulasi Ketat terhadap Alih Fungsi Lahan
    Tidak semua sawah harus berubah menjadi kompleks perumahan atau pabrik. Perlu ada aturan yang tegas agar lahan pertanian produktif tetap dipertahankan.

  3. Modernisasi Pertanian
    Anak muda enggan bertani karena masih identik dengan kerja kasar dan hasil yang tidak pasti. Padahal, dengan teknologi seperti pertanian presisi, drone penyemprot pupuk, dan sistem irigasi otomatis, bertani bisa lebih modern dan efisien.

  4. Edukasi dan Insentif bagi Generasi Muda
    Perlu ada program khusus yang mendorong anak muda kembali ke pertanian, seperti pelatihan gratis, modal usaha, dan skema kemitraan yang menguntungkan.

Menjaga Sawah, Menjaga Masa Depan

Jika kita tidak segera bertindak, bisa jadi kelak nasi menjadi barang langka dan mahal. Mungkin suatu saat, anak-cucu kita bertanya, “Dulu kita makan nasi dari mana?” dan kita hanya bisa menjawab, “Dari sawah yang kini sudah jadi mal.”

Jadi, sebelum semua terlambat, mari kita mulai peduli. Karena menjaga petani dan sawah bukan hanya urusan pemerintah atau akademisi, tapi tanggung jawab kita bersama sebagai bangsa yang lahir dari tanah agraris.

Bagikan Artikel Ini
img-content
Choirul Anam

Penulis Indonesiana

2 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler